Haruskah Membuat Bisnis Sendiri?

Bismillahirrohmaaniroohiim. Alhamdulillahi Robbil 'Alamiin. Allahumma Sholli 'Alaa Sayyidinaa Muhammad.

Beberapa waktu yang lalu, saya menonton drama Korea berjudul Startup, tepatnya episode 14. Ada beberapa scene yang membuat saya merenung.

Salah satu scene-nya adalah ketika Direktur Han bertanya kepada salah satu programmer jebolan Samsan Tech tentang apa yang mereka sukai dalam berbisnis.

Jika mereka suka membuat program, sebaiknya mereka menjadi programmer tanpa perlu membuat bisnis sendiri.

Namun, jika mereka suka berbisnis dan pernak-perniknya, sebaiknya mereka membuat bisnis sendiri.

Ketika kamu suka dengan yang kamu kerjakan, kamu tidak akan peduli apa yang orang lain katakan.

Mungkin Anda bingung apa itu Samsan Tech dan siapa Direktur Han jika Anda belum menonton drama tersebut. Anda mungkin sebaiknya mulai menontonnya. Menurut saya, film tersebut bagus. Layak untuk ditonton dan direkomendasikan.

Oke. Kembali lagi ke pembahasan pertanyaan (atau pernyataan) Direktur Han tadi.

Pernyataan Direktur Han ini membuat saya merenungkan kembali apa yang saya inginkan.

Selama ini, saya memiliki keinginan untuk membuat perusahaan sendiri. Namun, saya jadi bingung sendiri dengan apa yang sebenarnya saya inginkan.

Saya menjadi bertanya-tanya lagi apa yang sebenarnya saya sukai. Saya ingin membuat bisnis yang besar. Namun, saya juga menyukai pemrograman.

Saat ini, saya bekerja sebagai programmer, kuliah jurusan teknik informatika, menjadi freelance sebagai content creator di suatu akun Instagram, dan menjalankan bisnis saya sendiri secara serabutan.

Saya juga merasa tidak buruk mengerjakan semuanya.

Cukup dipercaya oleh atasan di pekerjaan saya. Bebas mengeksplor teknologi yang ingin saya buat. Lingkungan kerja yang menurut saya nyaman.
 
Nilai yang mayoritas A di perkuliahan. Saya juga merasa menikmati dan ingin tahu penerapan nyata beberapa hal yang diajarkan di sana.

Diberi kontrak satu tahun untuk menangani akun Instagram. Saya sampai bisa mendelegasikan beberapa tugas ke orang lain. Saya rasa itu lumayan hebat dari segi manajemen.

Berhasil mendapatkan investasi dari kenalan saya berdasar presentasi rencana bisnis yang ingin saya buat.

Namun, keadaan sebenarnya tidak sebaik itu.

Saya merasa gaji saya kecil dibanding programmer pada umumnya. Yah, meskipun jika ditambah tunjangan dan lain-lain, sebenarnya rata-rata per bulannya juga 11-12 dengan programmer kenalan saya yang lain. Saya juga beberapa kali merasa stres dan jengkel saat dihubungi orang-orang mengenai aplikasi yang saya buat. Kadangkala juga pikiran saya buntu ketika sedang mengerjakan suatu fitur. Beberapa kali juga merasa terlihat rendah daripada programmer di perusahaan swasta karena teknologi yang saya gunakan terkesan jadul.

Di perkuliahan, tugas akhir saya jarang saya sentuh. Saya merasa kesulitan mencari data dan bingung mengaplikasikan metode yang saya gunakan. Bodohnya, saya malah jarang bimbingan karena malu.

Akun Instagram yang saya pegang juga perkembangannya tidak menyenangkan. Setidaknya, menurut saya sendiri. Saya kesulitan menentukan siapa target pasar sebenarnya dari akun tersebut.

Bisnis yang saya jalankan pun belum terlihat menguntungkan. Stagnan tanpa penjualan selama beberapa bulan.

Saat menulis ini, saya memang memiliki beberapa keinginan. Namun tetap saja, saya masih bingung dengan apa yang saya inginkan sebenarnya.

Satu hal yang ingin saya sukai adalah belajar sesuatu, mencobanya apakah berhasil berjalan sesuai yang diklaim dari pelajaran tersebut, kemudian mendokumentasikannya.

Apakah kalian pernah merasakan hal seperti ini? Apa yang kalian lakukan kemudian?

Wallahul muwafiq ilaa aqwaamith thooriq.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengatasi "Access denied for user 'root'@'localhost' (mysqli_real_connect(): (HY000/1698))" di Ubuntu 20.04 LTS

Update dari Composer 1 ke Composer 2 di Ubuntu 20.04

Cara Mengatasi "Login without a password is forbidden by configuration (see AllowNoPassword)" di Ubuntu 20.04 LTS